Kamis, 23 Maret 2006

“Bom Waktu” di Sekitar Hary Tanoe

[Warta Ekonomi] - Raja Bisnis Multimedia, Hary Tanoe, terhimpit sejumlah kasus: sengketa dengan Mbak Tutut, kasus NCD milik Unibank, dan penangkapan Shadik Wahono. Semuanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Senin, 23 Januari 2006 lalu, stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) genap berusia 15 tahun. Ibarat anak remaja, TPI sedang memasuki usia ABG (anak baru gede)—usia “panas-panasnya”. TPI panas? Iya, jika ditilik dari beberapa programnya yang memperoleh rating tinggi.

Namun, bukan cuma itu isu panas di TPI. Isu panas lainnya adalah pertarungan antara Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dengan taipan multimedia dan pemilik baru PT Bimantara Citra Tbk., Hary Tanoesoedibjo. Bimantara Citra adalah kerajaan bisnis yang didirikan Bambang Trihatmodjo, adik kandung Mbak Tutut, yang kini diambil alih Hary Tanoe. Pangkal sengketa adalah soal kepemilikan saham TPI di PT Berkah Karya Bersama (Berkah). Berkah adalah anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), holding company milik Hary Tanoe. Saat ini, Berkah memiliki 75% saham TPI, sedangkan Mbak Tutut hanya menguasai 25% sisanya.

Bagaimana Berkah bisa mempunyai saham di TPI?
Mulanya dari utang Mbak Tutut senilai US$55 juta. Di sini termasuk kewajiban obligasi TPI ke PT Indosat Tbk. Mbak Tutut rupanya tak mampu membayar utangnya. Oleh karena kepepet, pada Agustus 2002 Mbak Tutut sepakat membuat perjanjian dengan Hary Tanoe, yang juga pemilik PT Bhakti Investama Tbk.

Perjanjian itu menyebutkan bahwa semua utang Mbak Tutut akan diambil alih Hary Tanoe. Lalu, perjanjian tersebut juga mencantumkan kesediaan pria kelahiran 26 September 1965 itu untuk menambah modal agar kinerja TPI kian membaik. Sebagai imbalannya, Mbak Tutut bersedia memberikan 75% sahamnya di TPI kepada Hary Tanoe melalui Berkah tadi. Selain itu, Mbak Tutut juga memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan penuh operasional TPI. Maka, sejak Juni 2003, TPI menjadi salah satu pilar kerajaan multimedia yang dibangun Hary Tanoe di bawah bendera MNC.

Setahun kemudian masalah mencuat. Desember 2004, putri sulung mantan presiden Soeharto ini marah besar ketika mendengar rencana MNC untuk menjual lahan TPI di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Rencananya, uang hasil penjualan lahan seluas 12 hektar itu akan digunakan untuk menambah modal TPI. Bagi Mbak Tutut, rencana penjualan lahan TPI dianggap melanggar perjanjian. Di sisi lain, saat itu Hary Tanoe pun baru melunasi sebagian dari US$55 juta utang Mbak Tutut.

Sengketa pun meledak. Wanita yang selalu lembut dalam bertutur ini kemudian membatalkan perjanjian kerja samanya dengan Hary Tanoe dan sekaligus mencabut surat kuasa yang ia berikan ke Berkah. “Buat apa ada perjanjian kalau akhirnya harus menjual lahan TPI?” kata Harry Ponto, kuasa hukum Mbak Tutut, kepada Warta Ekonomi, Kamis (9/2) lalu. Sebab, kalau melunasi utang dengan cara menjual lahan TPI, Mbak Tutut pun bisa.

Namun, dirut TPI, Nyoman Suwisma, membantah rencana penjualan lahan TPI. Menurut Nyoman, yang terjadi adalah ketidakjelasan informasi. Usul penjualan lahan TPI, kata Nyoman, muncul sejak 2002. “Sebab, dari segi bisnis, untuk membuat studio dan stasiun TV sebenarnya tak perlu lahan sampai 12 hektar,” tandas Nyoman, di sela peringatan HUT ke-15 TPI. Nyoman justru heran dari mana Mbak Tutut mendengar kabar rencana penjualan lahan tersebut. Akan tetapi, ketika ditanya soal pelunasan utang Mbak Tutut oleh Berkah, Nyoman mengaku tak tahu-menahu.

TPI = “Sapi Perah” MNC?
Sebenarnya ada sengketa lain antara Mbak Tutut dan Hary Tanoe di TPI. Menurut sebuah sumber, Mbak Tutut prihatin dengan nasib TPI. Sumber yang dekat dengan Mbak Tutut itu menyebutkan bahwa pasca-”diambil alih” Berkah, TPI bak jadi “sapi perah” MNC, perusahaan induknya. Beberapa aset TPI, seperti studio, kamera, kendaraan operasional, dan peralatan lainnya, kini beralih status menjadi milik MNC. “Jadi, kini TPI harus sewa peralatan ke MNC,” ujar sumber tadi.

Tak cuma itu. Sejak bergabung dengan MNC, TPI juga mesti menayangkan iklan-iklan dari grup tersebut. “Banyak spot iklan yang ditayangkan TPI secara gratis,” ujar sumber itu lagi.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai hal tersebut, Nyoman membantahnya. “Tak ada istilah TPI menyewa ke MNC,” katanya, pendek. Namun, soal iklan gratis, ucap Nyoman, itu hal biasa dalam sebuah grup bisnis. Itu adalah kebijakan saling sinergi yang diterapkan MNC ke semua media miliknya, termasuk dalam hal pembelian program acara, spot iklan, dan fasilitas lainnya.

Cuma, rupanya Mbak Tutut telanjur kecewa dan tetap berniat membatalkan perjanjian kerja sama dengan Hary Tanoe. Mbak Tutut rupanya tidak rela TPI dijadikan sapi perah. Apalagi, sampai dengan 2005, TPI berhasil membukukan pendapatan kotor Rp500 miliar. Sementara itu, biaya produksi TPI hanya separo dari pendapatan kotor tersebut.

Kabarnya, kini kubu Mbak Tutut dan kubu Hary Tanoe tengah gencar bernegosiasi. Cuma, negosiasi ini bakal alot karena Mbak Tutut hanya memberikan dua pilihan. Pertama, Berkah mesti membayar lunas sisa utang Mbak Tutut dan tak mengutak-atik lahan TPI di Taman Mini. Kedua, kepalang tanggung, Mbak Tutut mau melepas 25% sisa sahamnya di TPI. “Cuma, harga sahamnya pasti sangat tinggi,” kata sumber lain. Hingga kini, ujung sengketa masih belum kelihatan. Kedua belah pihak masih sangat tertutup.

Warta Ekonomi berkali-kali berusaha menghubungi Hary Tanoe, baik lewat surat, mencoba bertemu langsung, maupun melalui telepon selularnya. Namun, semuanya buntu. Hary selalu menghindar dan tak mau banyak bicara. “No comment. Hubungi pengacara saya saja,” ujarnya singkat. Salah seorang eksekutif di media milik Hary mengungkapkan bahwa bosnya sebenarnya bersedia menerima Warta Ekonomi. “Nanti akan diatur waktunya,” katanya. Dalam SMS-nya pun Hary hanya menjawab, “Tolong jangan sekarang. Nanti kalau waktunya tepat, saya akan beri tahu.” Namun, hingga tenggat penulisan, janji wawancara itu tak terealisasi.

Tidak ada komentar: